Kebijakan Berbasis Data

Candra Fajri Ananda Staf Khusus Menteri Keuangan RI

ILMU ekonomi lahir karena adanya kondisi kelangkaan (scarcity), yaitu suatu kondisi di mana kebutuhan masyarakat tidak terbatas namun sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas. Pada awalnya, konsep ekonomi yang berkembang adalah bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut dengan menyerahkannya kepada mekanisme pasar.

Pada tahun 1776, Adam Smith, seorang ekonom klasik, menyatakan bahwa dengan mengimplementasikan pasar bebas justru akan mendorong teralokasinya sumber daya dengan efektif dan efisien. Permintaan dan penawaran pasar adalah “tangan tak terlihat” (invisible hand) yang akan menstimulus pasar menunju kesetimbangannya. Prinsip ini menolak campur tangan pemerintah, karena justru akan mengganggu mekanisme pasar itu sendiri.

Faktanya, mekanisme pasar tidaklah selalu efektif dan efiesien. Hal ini karena informasi yang dibutuhkan konsumen dan supplier tidaklah selalu tersedia, sehingga adakalanya menimbulkan kelebihan atau kekurangan persediaan dalam pasar.

Informasi kebutuhan konsumen tidak selalu dapat ditangkap oleh supplier, begitupun sebaliknya. Selain itu, muncul kebutuhan masyarakat yang tidak bisa disediakan oleh pasar, seperti fasilitas-fasilitas publik.

Alhasil, Pada tahun 1930s, John Maynard Keynes, mengeluarkan gagasan tentang perlunya kebijakan intervensi pemerintah. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh peristiwa Great Drepession yang membuat tingkat pengangguran luar bisa tinggi.

Gagasan yang dikeluarkan oleh Keynes merupakan pijakan yang menyadarkan para pelaku ekonomi terhadap pentingnya peranan pemerintah dalam perekonomian. Peranan pemerintah menjadi penting karena mekanisme pasar saja tidak bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi.

Oleh sebab itu, untuk menjamin efisiensi, pemerataan dan stabilisasi ekonomi maka peran dan fungsi negara multlak diperlukan dalam perekonomian sebagai pengendalian mekanisme pasar.

Maladministrasi dan Efektivitas Kebijakan

Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan pembangunan Indonesia sebagaimana yang telah tertuang dalam UUD 1945 dan juga Pancasila. Artinya, pemerintah Indonesia dalam upaya pembangunan kesejahteraan masyarakat pada dasarnya mengacu tujuan dari sila ke-lima Pancasila yang menekankan pada prinsip keadilan sosial, serta secara eksplisit konstitusinya termaktub dalam pasal 27 dan 34 UUD 1945 yang mengamanatkan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Demi melaksanakan amanat rakyat serta mewujudkan tujuan berbangsa, maka pemerintah perlu memiliki arah untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial yang mengutamakan kemakmuran masyarakat. Kebijakan merupakan salah satu alat yang digunakan oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan merupakan pedoman atau langkah-langkah yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat dan ekonomi dengan tujuan mencapai hasil yang diinginkan. Oleh karenanya, kebijakan yang dibuat pemerintah seharusnya dirancang dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang meliputi berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan sosial.

Kebijakan yang efektif harus memperhatikan semua aspek tersebut dan berusaha untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi masyarakat secara keseluruhan. Permasalahannya, hingga kini di Indonesia masih sering terjadi fenomena kebijakan pemerintah yang tidak mencapai tingkat efektivitas sebagaimana yang diharapkan dan tidak tepat sasaran. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling terkait, salah satunya adalah kurangnya data yang akurat dan relevan.

Pasalnya, kebijakan yang baik harus didasarkan pada data dan informasi yang akurat. Tanpa data yang memadai, maka besar kemungkinan pemerintah mengambil keputusan yang tidak tepat, yang dapat berujung pada kebijakan yang tidak efektif Selama ini, salah satu bentuk kebijakan pemerintah yang memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun memiliki tantangan besar untuk bisa tepat sasaran ialah Program Bantuan Sosial (Bansos).

Pemerintah memberikan bansos tersebut untuk memenuhi dan menjamin kebutuhan dasar serta meningkatkan taraf hidup penerimanya. Fungsi tersebut juga sejalan dengan amanat dalam Inpres No 7/2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif.

Ironisnya, kebijakan tersebut kerap menimbulkan polemik tidak tepat sasaran dan belum sepenuhnya efektif. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kesalahan penyaluran bansos pemerintah yang mengakibatkan kerugian negara hingga 6,9 triliun rupiah. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Semester II Tahun 2021 menyebut kesalahan penyaluran bansos terjadi pada Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Sosial Tunai (BST).

Sejatinya, problematika penyaluran bansos yang tak kunjung usai tersebut ialah terkait dengan pengelolaan data. Hampir seluruh stakeholder yang memiliki kewenangan untuk menyalurkan bansos memiliki data masing-masing. Alhasil, proses realisasi di lapangan pun tentu akan menimbulkan banyak potensi masalah yang berujung pada pengaduan.

Urgensi Sinkronisasi Satu Data Kependudukan

Proses untuk merealisasikan pembangunan yang berwawasan kependudukan diperlukan dukungan data dan informasi kependudukan yang lengkap dan akurat, sehingga memudahkan para perencana dan pengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan dan menyusun berbagai program pembangunan. Oleh sebab itu, ketersediaan data kependudukan diberbagai tingkatan administrasi pemerintahan menjadi faktor kunci keberhasilan pelaksanaan program-program pembangunan maupun penyelenggaraan pemerintahan.

Sehingga, saat ini, demi mencapai efektivitas sebuah kebijakan, maka hal mendasar yang perlu segera diperbaiki pemerintah ialah melakukan sinkronisasi data yang saat ini masih banyak perbedaan di setiap kementerian/lembaga. Sinkronisasi data mutlak penting sebagai upaya mewujudkan visi Satu Data Indonesia sebagaimana amanat Perpres No 39/2019.

Hal ini karena data yang valid dan berkualitas akan menjadi navigator arah kebijakan dan program pemerintah. Kualitas data yang tidak baik dapat menimbulkan anomie (kebingungan) yang tentu akan berdampak pada kebijakan yang tidak efektif dan tidak tepat sasaran.

Bahkan, Presiden melalui Perpres No 39/2019 juga telah mengamanatkan agar data yang akurat, mutakhir, dan dapat dipertanggungjawabkan harus menjadi acuan dalam program pembangunan. Guna mengatasi permasalahan data di Indonesia, maka saat ini pemerintah perlu melakukan investasi dalam pengumpulan, pemrosesan, dan analisis data yang lebih baik.

Kesatuan data pemerintah bukan hal yang mudah dilakukan dalam waktu singkat. Tingginya variasi jenis data, tidak memungkinkan semua data dioleh oleh satu lembaga saja. Sehingga dalam prosesnya tersebut pemerintah perlu melibatkan kemitraan dengan lembaga riset, perguruan tinggi, dan sektor swasta untuk memastikan data yang dikumpulkan tersebut akurat dan relevan tersedia.

Selain itu, penting juga untuk memastikan transparansi dalam pengumpulan dan penggunaan data agar masyarakat dapat memberikan masukan dan mengawasi proses pembuatan kebijakan. Berlandaskan pada dasar data yang kuat, maka kebijakan pemerintah akan lebih memiliki peluang keberhaislan yang lebih besar dalam mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat. Semoga.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Senin, 21 Agustus 2023 – 06:10 WIB oleh Candra Fajri Ananda dengan judul “Kebijakan Berbasis Data | Halaman 3”. Untuk selengkapnya kunjungi:
https://nasional.sindonews.com/read/1180691/18/kebijakan-berbasis-data-1692533322/24

Dilihat sebanyak : 315 views