Sumber Kemajuan Ekonomi Negara dan Daerah (2)

Dompu, PusakaPublik.Com. -Banyak ekonom yang membahas persoalan tersebut dengan menempatkan beberapa factor sebagai penjelas mengapa sebuah negara dan daerah bisa memperoleh kemajuan ekonomi.

Sementara negara dan daerah lainnya tetap dalam kondisi di bawah tingkat kesejahteraan rata-rata.

Menurut Yeager (1999) mencatat empat hipotesis yang diperkirakan banyak ahli menjadi sumber kemajuan ekonomi sebuah negara dan daerah, yang sekaligus disanggahnya melalui fakta penunjang.

Baca Juga https://pusakapublik.com/sumber-kemajuan-ekonomi-negara-dan-daerah-1/

Kedua, Sumber Daya Alam –SDA (natural resources) juga dapat dipandang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi bagi sebuah Negara dan daerah.

Argumentasinya, sumber daya alam bisa mempermudah suatu Negara dan daerah untuk menumbuhkan ekonominya dengan biaya input yang lebih rendah.

AS merupakan contoh Negara yang kaya dengan sumber daya alam (Mineral, lahan, dan kayu) sekaligus makmur ekonominya. Namun anggapan ini dengan mudah bisa dibantah karena banyak Negara, seperti Singapura dan Jepang, tidak memiliki kekayaan SDA tetapi pertumbuhan ekonominya sangat tinggi.

Di lain pihak, justru banyak Negara yang memiliki kelimpahan SDA mempunyai kinerja ekonomi yang buruk. Dalam literature ekonomi dikenal dengan istilah ”Dutch Disease” , di mana pada decade 1960-an Belanda memperoleh tingkat kesejahteraan ekonomi akibat melimpahnya SDA yang mereka miliki.

Tetapi sejak decade 1970-an ekonomi negera tersebut ambruk setelah terjadi kenaikan angka inflasi, penurunan ekspor sector manufaktur, pertumbuhan ekonomi menurun, dan peningkatan pengangguran.

Ketiga, Setelah dua factor tersebut di atas gugur, ditengarai pertumbuhan ekonomi lebih disebabkan oleh Tingkat Kepadatan Penduduk.

Suatu Negara dan daerah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk rendah (low population density) dianggap akan memiliki peluang untuk bisa mensejahterakan rakyatnya.

Alasanya, apabila kepadatan penduduk sangat tinggi, maka kegiatan ekonomi penduduk hanya akan berada pada level subsisten karena rendahnya rasio penduduk dan lahan (man-land ratio).

Negara dan daerah berkembang, seperti Indonesia, juga dicirikan oleh penguasaan lahan yang rendah akibat jumlah penduduk yang tinggi. Hal ini dengan mudah dijumpai pada pelaku ekonomi di sector pertanian (baca Petani), di mana setiap kepala rumah tangga hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar.

Akibatnya, kegiatan pertanian yang dilakukan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten), bukan untuk tujuan komersial.

Namun, kembali fakta ini terbantah karena negara-negara dan daerah-daerah  lain dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, seperti Jepang dan Hongkong, tetap mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi.

Sebaliknya, Negara dan daerah seperti Brazil, China, dan Rusia, yang tingkat kepadatan penduduknya relative rendah, justru pendapatan per kapitanya jauh lebih kecil dibandingkan Swiss atau Jerman. *)

**Dr. Dodo Kurniawan, ME. (Direktur Eksekutif Institut Indikator Ekonomi & Sosial/ INDEKS)

Dilihat sebanyak : 1,129 views