*Dr. Dodo Kurniawan, ME.
(Direktur Eksekutif Institut Indikator Ekonomi & Sosial/ INDEKS)
Menurut Yeager (1999) mencatat empat hipotesis yang diperkirakan banyak ahli menjadi sumber kemajuan ekonomi sebuah Negara dan daerah, yang sekaligus disanggahnya melalui fakta penunjang.
Pertama, Modal Sumber Daya Manusia –SDM (human capital) dianggap merupakan stok kekayaan pengetahuan yang sangat berharga sehingga setiap negara dan daerah yang memiliki modal sumber daya manusia dapat memajukan kegiatan ekonomi melalui pencapaian tenaga kerja yang produktif.
Keyakinan ini didukung oleh kenyataan bahwa negara-negara dan daerah-daerah kaya biasanya tenaga kerjanya memiliki tingkat masuk sekolah (enrollment rate) lebih dari 90 persen.
Namun hipotesis ini segera gugur ketika dihadapkan pada tiga fakta berikut:
(i) Terdapat Negara dan daerah, misalnya Polandia, Rusia dan Korea Selatan, yang rakyatnya memiliki tingkat pendidikan sangat baik, tetapi pendapatan per kapitanya jauh di belakang Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis,
(ii) Berkaitan dengan pernyataan kausalitas: apakah pendidikan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi atau justru pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan tingkat pendidikan lebih baik, faktanya adalah pertumbuhan ekonomi akan mendorong perbaikan tingkat pendidikan.
Setidaknya pada tahun 1970-an banyak Negara dan daerah di Sub-Sahara Afrika yang meningkatkan pengeluaran pada sector pendidikan (budget spending) tetapi tidak menunjukkan pertumbuhan ekonomi, dan bahkan pendapatan per kapitanya menurun. dan
(iii) Kasus Imigran dari Haiti dan Jerman yang pindah ke AS menunjukkan ketidakselarasan antara tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita.
Kedua, Sumber Daya Alama –SDA (natural resources) juga dapat dipandang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi bagi sebuah Negara dan daerah. Argumentasinya, sumber daya alam bias mempermudah suatu Negara dan daerah untuk menumbuhkan ekonominya dengan biaya input yang lebih rendah.
AS merupakan contoh Negara yang kaya dengan sumber daya alam (Mineral, lahan, dan kayu) sekaligus makmur ekonominya. Namun anggapan ini dengan mudh bias dibantah karena banyak Negara, seperti Singapura dan Jepang, tidak memiliki kekayaan SDA tetapi pertumbuhan ekonominya sangat tinggi.
Di lian pihak, justru banyak Negara yang memiliki kelimpahan SDA mempunyai kinerja ekonomi yang buruk. Dalam literature ekonomi dikenal dengan istilah ”Dutch Disease” , di mana pada decade 1960-an Belanda memperoleh tingkat kesejahteraan ekonomi akibat melimpahnya SDA yang mereka miliki.
Tetapi sejak decade 1970-an ekonomi negera tersebut ambruk setelah terjadi kenaikan angka inflasi, penurunan ekspor sector manufaktur, pertumbuhan ekonomi menurun, dan peningkatan pengangguran.
Ketiga, Setelah dua factor tersebut di atas gugur, ditengarai pertumbuhan ekonomi lebih disebabkan oleh Tingkat Kepadatan Penduduk. Suatu Negara dan daerah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk rendah (low population density) dianggap akan memiliki peluang untuk bisa mensejahterakan rakyatnya.
Alasanya, apabila kepadatan penduduk sangat tinggi, maka kegiatan ekonomi penduduk hanya akan berada pada level subsisten karena rendahnya rasio penduduk dan lahan (man-land ratio).
Negara dan daerahberkembang, seperti Indonesia, juga dicirikan oleh penguasaan lahan yang rendah akibat jumlah penduduk yang tinggi. Hal ini dengan mudah dijumpai pada pelaku ekonomi di sector pertanian (baca Petani), di mana setiap kepala rumah tangga hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar.
Akibatnya, kegiatan pertanian yang dilakukan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten), bukan untuk tujuan komersial.
Namun, kembali fakta ini terbantah karena negara-negara dan daerah-daerah lain dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, seperti Jepang dan Hongkong, tetap mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi.
Sebaliknya, Negara dan daerah seperti Brazil, China, dan Rusia, yang tingkat kepadatan penduduknya relative rendah, justru pendapatan per kapitanya jauh lebih kecil dibandingkan Swiss atau Jerman.
Keempat, Pandangan mutakhir menganggap Teknologi merupakan factor kunci yang menjadi penjelas mengapa suatu Negara dan daerah bias mengakumulasi kekayaan dan pertumbuhan ekonomi.
Teknologi akan membawa suatu Negara dan daerah selalu bias memperbaharui kegiatan ekonomi secara lebih efisien dan membuat pekerjaan menjadi lebih produktif.
Dalam pengertian yang seluas-luasnya, kemampuan teknologi merupakan factor yang sangat penting dalam menentukan kinerja ekspor hasil-hasil industry suatau Negara. Tetapi pemikiran ini segera menimbulkan keraguan, bukankah teknologi juga bias diserap oleh Negara-negara sedang berkembang dengan mudah dan bebas?.
Bukankah sudah sekian decade ini Negara berkembang menghamburkan dana pembangunan hanya untuk mentransfer teknologi dari Negara maju?.
Pertanyaan-pertanyaan ini segara membuat sinyalemen bahwa teknologi merupakan sumber keunggulan bagi pertumbuhan ekonomi menjadi menguap.
Artinya, tidak selamyan penguasaan teknologi yang memadai lantas secara otomatis menolong Negara dan daerah tersebut bisa mengakumulasi kesejahteraan ekonominya.
Negara India barangkali bisa mewakili kasus ini, di mana tingkat penguasaan teknologi yang dimiliki cukup tinggi, tapi hingga kini negaranya masih terperosok dalam kuang kemiskinan.
Pencarian penjelasan terhadap faktor yang memyebabkan diperolehnya pertumbuhan ekonomi tersebut terus mengalami pembaruan.
Sumber Kemajuan Ekonomi Negara dan Daerah yang ditawarkan oleh Yeager (1999) sebagai alternative adalah “Kelembagaan” (Institutions).
Dalam satu dekade terakhir muncul diskursus yang lebih intensif mengenai pentingnya faktor “Kelembagaan” (Institutions) sebagai variabel yang mendorong pertumbuhan ekonomi sebuah negara dan daerah.
Kelembagaan –berbeda dengan faktor Pendidikan, SDA, Penduduk dan Teknologi yang dipandang bisa menjelaskan fenomena perbedaan pencapaian kemajuan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) antardaerah dan antarnegara.
Jika faktor pendidikan, SDA, Kepadatan Penduduk dan Teknologi lebih merupakan factor sederhana yang bisa dipisahkan dengan realitas sosial; maka kelembagaan (rules of the game) justru hidup dan berjalan di atas realitas sosial masyarakat.
Kelembagaan yang baik dicirikan oleh tiga hal berikut.
Pertama, Pemaksaan terhadap hak kepemilikan (enforcement of property right). Adanya hak kepemilikan di dalam masyarakat akan memberi insentif bagi individu untuk melakukan kegiatan ekonomi, misalnya investasi dan perdagangan.
Kedua, Membatasi tindakan-tindakan para politisi, elite dan kelompok-kelompok berpengaruh lainnya yang berupaya untuk memperoleh keuntungan ekonomi tanpa prosedur yang benar, seperti perilaku mencari rente (rent-seeking behavior).
Ketiga, memberi kesempatan yang sama (equal opportunity) bagi semua individu untuk mengerjakan aktivitas ekonomi/ investasi dan perdagangan, khususnya dalam meningkatkan kapasitas individu (human capital) maupun berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif.
Kelembagaan merupakan sumber terpenting yang menentukan suatu negara dan daerah gagal atau maju perekonomiannya. Negara yang kelembagaannya mapan atau inklusif dan kuat cenderung kinerja ekonominya bagus.
Negara dan daerah yang kelembagaannya mapan dan kuat ditandai antara lain melalui adanya kelembagaan hak kepemilikan privat yang aman, system hukum yang tidak bias dan penyediaan layanan public yang luas. Korea selatan, Jepang, AS, Eropa, Singapura dan banyak lainnya merupakan contoh negera-negara yang tergolong kelembagaanya mapan. *)