Pusakapublik.com, Dompu. – Akademisi STKIP Yapis Dompu Ilyas Yasin MMPd mengingatkan, kemeriahan demokrasi jelang Pemilu 2024 jangan sampai bernasib seperti lato-lato, permainan yang tengah digandrungi anak-anak belakangan ini. “Meriah bunyinya tapi tidak menghasilkan makna apapun,” ujarnya saat jadi pembicara dalam diskusi publik yang digelar Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MD KAHMI) Kabupaten Dompu di Gedung PKK Dompu, beberapa waktu lalu.
Hal itu diungkapkan Ilyas menanggapi polemik yang sedang berlangsung tentang perubahan sistem Pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Diketahui, sejumlah perorangan dan kelompok masyarakat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi yang mempersoalkan sistem Pemilu proporsional. Para penggugat menilai, sistem proporsional terbuka menimbulkan biaya politik mahal bahkan politik transaksional di masyarakat maupun calon yang maju dalam kontestasi elektoral di semua tingkatan. Gugatan tersebut sedang bergulir di MK.
Ilyas mengingatkan, apapun sistem Pemilunya itu hanyalah alat semata, sedangkan tujuan demokrasi adalah untuk menyejahterakan rakyat dan mendistribusikan keadilan. “Dalam sistem Pemilu seperti Pilkada secara langsung pun tidak menjamin lahirnya kepala daerah yang bersih, akuntabel dan kredibel,” ungkapnya sambil berharap agar para pemangku kepentingan tetap fokus dan bekerjasama meningkatkan kualitas demokrasi. Hal itu, kata Ilyas, dapat dilihat banyaknya kepala daerah yang tersandung masalah hukum maupun hasil Operasi Tangkap Tangan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Dia menilai, perdebatan sistem Pemilu dan demokrasi selama ini cenderung terjebak pada aspek teknis semata dan melupakan substansi demokrasi. “ Ya, perdebatan tentang sistem Pemilu kita terjebak pada akuntansi politik seperti jumlah kursi, penambahan Dapil (daerah pemilihan, red), tingkat partisipasi pemilih dan seterusnya. Dengan kata lain, kita terjebak pada demokrasi prosedural padahal yang kita harapkan adalah demokrasi substantif,” kata Ilyas.
Mengutip guru besar Ilmu Politik Australia, Edward Aspinal, dia menyesalkan terjadinya kemerosotan kualitas demokrasi yang sudah berlangsung sejak Pemilu 2014. Hal itu disebabkan liberalisme politik. Dijelaskan, kemerosotan demokrasi tersebut dapat dilihat dari maraknya politik transaksional maupun politik identitas di Tanah Air. “Sayangnya lagi, partai politik juga tidak melakukan tugas memberikan pendidikan politik kepada publik untuk mengurangi politik transaksional maupun politik identitas tersebut. Padahal partai mendapatkan dana dari negara sesuai suara sah yang diperoleh dalam Pemilu untuk melakukan pendidikan politik,” sesalnya.
Menurut dia, percuma Pemilu maupun Pilkada berhasil digelar secara berkala dengan lancar, aman dan biaya mahal jika tidak menghasilkan demokrasi yang berkualitas antara lain dengan maraknya praktik politik transaksional. “Nasib demokrasi kita mirip Dewa Sisifus dalam mitologi Yunani. Dia dengan susah payah mendorong batu besar ke atas puncak gunung, tetapi setelah sampai lalu dilepaskannya lagi ke bawah. Begitu terus berulang-ulang,” ujarnya memberi analogi.
Diskusi publik tersebut dalam rangka Milad HMI ke-76 dan diikuti puluhan kader HMI, perwakilan organisasi pemuda, wakil partai politik dan caleg. Diskusi yang dipandu Sekretaris FORHATI Dompu Desy Wahyuningsih SPd menghadirkan pembicara lain yakni Ketua Bawaslu Kabupaten Domu Drs Irwan, Komisioner KPU Dompu Agus Setiawan SH dan Sekretaris Umum MD KAHMI Dompu Suherman Ahmad SPd (10).