PusakaPublik.Com, Dompu – Direktur Institut Indikator Ekonomi dan Sosial (Indeks) Dr. Dodo Kurniawan mengatakan masyarakat jelas belum siap menghadapi kenaikan harga Pertalite dan Solar menjadi Rp 10.000 per liter dan 6.800 per liter serta Pertamax 14.500 per liter.
Dampaknya, Daerah-daerah di Indonesia dan Indonesia pada umumnya bisa terancam stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan yang tidak dibarengi dengan kesempatan kerja dan peningkatan produksi barang dan jasa, akibat naiknya biaya produksi sehingga menyulitkan perusahaan untuk meningkatkan produksi dan ekspansi usaha.
“BBM bukan sekedar harga energi dan spesifik biaya transportasi kendaraan pribadi yang naik, tapi juga ke hampir 744 komoditi terdampak yang terbagi dalam 7 kategori. Yakni pertama Bahan makanan, kedua Makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, ketiga perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar, keempat Sandang, kelima Kesehatan, keenam Pendidikan dan ketujuh Transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan.
Dampaknya pada Daerah adalah jika harga pengiriman bahan pangan akan naik di saat yang bersamaan pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk,” jelasnya, Sabtu (4/9/2022).
Menurutnya, inflasi bahan makanan masih tercatat tinggi pada bulan Agustus yakni 8,55% year on year, bakal makin tinggi. Diperkirakan inflasi pangan kembali menyentuh dobel digit atau di atas 10% per tahun pada September ini.
Sementara inflasi umum diperkirakan menembus di level 7-7,5% hingga akhir tahun dan memicu kenaikan suku bunga secara agresif.
“Konsumen ibaratnya akan jatuh tertimpa tangga berkali kali, belum sembuh pendapatan dari pandemi dan anjloknya harga produk pertanian kini sudah dihadapkan pada naiknya biaya hidup dan suku bunga pinjaman,” ujarnya.
Dodo mengatakan masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan sekalipun, akan mengurangi konsumsi barang lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada pengusaha dan petani.
“Karena BBM ini sudah menjadi kebutuhan mendasar atau primer masyarakat, ketika harganya naik maka pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan minuman, hingga logistik semuanya akan terdampak,” jelasnya.
Ia melanjutkan, pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan, tentu risiko mengambil jalan pintas dengan melakukan PHK massal.
“Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya-biaya. Ekspansi sektor usaha bisa macet, Inilah yang disebut sebagai pertumbuhan yang stagnan atau tidak berkembang sebagai akibat terjadinya kenaikan harga-harga secara umum atau Inflasi.”
Sedangkan bansos yang hanya melindungi orang miskin dalam waktu 4 bulan, tidak akan cukup dalam mengkompensasi efek kenaikan harga BBM.
“Misalnya ada kelas menengah rentan, sebelum kenaikan harga Pertalite masih sanggup membeli di harga Rp 7.650 per liter, sekarang harga Rp 10.000 per liter mereka turun kelas jadi orang miskin,” jelasnya.
Menurutnya, data orang rentan miskin ini sangat mungkin tidak tercover dalam BLT BBM karena adanya penambahan orang miskin pasca kebijakan BBM subsidi naik. Pemerintah perlu mempersiapkan efek berantai naiknya jumlah orang miskin baru dalam waktu dekat.
“Alih-alih melakukan pembatasan dengan menyasar pengguna solar misalnya yang selama ini dinikmati industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar tapi cara pemerintah justru mengambil langkah naikkan harga BBM subsidi. Kenaikan harga merupakan mekanisme yang paling tidak kreatif dan solutif mengurangi beban APBN!,” jelasnya.
Selain itu, tujuan utama untuk membatasi konsumsi Pertalite subsidi juga tidak akan tercapai, ketika di saat bersamaan harga Pertamax ikut naik menjadi Rp 14.500 per liter. Akibatnya pengguna Pertamax akan tetap bergeser ke Pertalite, tegasnya. (09)