Strategi Entaskan Kemiskinan dan Ketimpangan di Daerah

Ilustrasi. Keputusan Strategis dilahirkan dalam Gedung Paruga Parenta Dana Nggahi Rawi Pahu

Dompu, PusakaPublik.com– Ketimpangan dan kemiskinan sering dicampuradukan meskipun kedua istilah ini bukan sesuatu yang sama. Kemiskinan umumnya menunjukkan tingkat pendapatan di bawah garis kemiskinan tertentu.

Penduduk atau keluarga disebut miskin bila memiiki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Ketimpangan mendeskripsikan mengenai jurang (Gap) antara mereka yang kaya;  mereka yang berpendapatan tinggi dan mereka yang miskin; mereka yang berpendapatan rendah.

Lalu, pertanyaan besar kita adalah apakah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan menurunkan jumlah penduduk miskin dan juga menurunkan ketimpangan antargolongan?

Secara empiris, bisa jadi pertumbuhan ekonomi tumbuh tinggi akan membantu sedikit meningkatkan taraf hidup si miskin (golongan penduduk yang berpendapatan rendah; petani, buruh tani, buruh pabrik, nelayan, dll), namun sekaligus membuat si kaya semakin kaya (golongan penduduk yang berpendapatan tinggi; pengusaha, penguasa, investor, dll.).

Sebaliknya, ketika pertumbuhan ekonomi menurun, yang ditandai penurunan pasar modal secara drastis, bisa jadi kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah membaik pendapatannya, namun banyak pemodal kaya yang mengalami kerugian akibat transaksi di pasar modal, sehingga ketimpangan malah membaik.

Dalam pembangunan ekonomi kita selalu menghadapi trade off (dilema) antar fokus mengejar petumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktifitas dan efisiensi disatu sisi, sementara disisi yang lain kita dihadapkan pada pemerataan ekonomi melalui keberimbangan dan keadilan serta keberlanjutan.

Masalah klasik Growth versus equity nampak terjadi. Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat ternyata ketimpangan pendapatan, yang diukur dengan indeks gini, juga meningkat, walaupun kemiskinan cenderung menurun.

Dengan kata lain, makin tinggi pertumbuhan ekonomi memang jumlah dan tingkat kemiskinan cenderung menurun, namun ketimpangan antar si miskin dan si kaya cenderung semakin lebar saat pertumbuhan ekonomi semakin meningkat.

Pertanyaan kita selanjutnya, apakah bahaya dari semakin timpangnya pendapatan antar golongan?.

Masalah ketimpangan ini dalam praktiknya sering memicu kecemburuan sosial dan kekerasan yang sering terjadi di berbagai daerah.

Sumber daya alam dan sumber daya manusia (bonus demografi) negara dan daerah kita yang melimpah ini seharusnya mampu memberikan kesejahteraan masyarakat, jika kebijakan dan regulasi berpihak kepada masyarakatnya.

Namun yang terjadi kesenjangan terjadi dimana-mana. Misalnya, di daerah yang miskin dan APBD-nya rendah, para pejabat dan kepala dinasnya mengendarai mobil-mobil mewah.

Tak ketinggalan para kontraktor sebagai mitra kerja pemda juga ikut menampilkan gaya hidup mewah di tengah kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Belum lagi perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi alam dan manusia secara besar-besaran di daerah, masyarakat disekitarnya hanya bisa jadi penonton, mendorong munculnya kecemburuan sosial, ketegangan, dan terus memicu kesenjangan.

Akibatnya masyarakat mengalami frustasi sosial yang berujung pada perbuatan kriminal atau kekerasan lainnya.

Selain ketimpangan dan kecemburuan sosial, kekerasan pada hakekatnya merupakan persoalan pemenuhan kebutuhan dasar.

Suatu studi yang dilakukan oleh beberapa ekonom dan sosiolog dunia tentang penyebab terjadinya kekerasan di daerah-daerah, menemukan fakta bahwa penyebab terjadinya kekerasan adalah karena frustasi yang disebabkan oleh akses lapangan kerja yang sangat minim.

Akibatnya, mereka tidak bisa mendapatakan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Pada gilirannya kekerasan muncul ketika masyarakat tidak tahu lagi ke mana dan bagaimana caranya memenuhi kebutuhan hidup bahkan untuk yang paling mendasar sekalipun.

Oleh karena itu, pemerintah harus melihat kekerasan sebagai persoalan yang berdiri sendiri dan sesegera mungkin mengatasinya.

“Bukan tidak mungkin ketimpangan dan kemiskinan merupakan faktor utama pemicu kekerasan dan tindak kriminal lainnya.

Maka, dalam upaya menurunkan tingkat ketimpangan antargolongan dan sekaligus juga menurukan angka kemiskinan diperlukan strategi jitu dan kebijakan afirmatif yang menyasar mereka-mereka yang miskin dan rentan miskin serta para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM), agar kemiskinan dan ketimpangan tidak semakin meningkat.

Untuk penduduk miskin, kebijakan yang perlu ambil adalah memberikan “Ikan”, maksudnya adalah memberikan bantuan dan perlindungan sosial kelompok sasaran (PSKS) baik berupa bantuan pangan non tunai (BPNT), PKH, BOS, JAMKESMAS, dll.

Sementara untuk mereka yang rentan miskin dan memiliki usia produktif, maka kebijakannya adalah “diajari mancing”, maksudnya adalah kelompok masyarakat yang masuk dalam klaster ini dilakukan pemberdayaan masyarakat. Selain kebijakan “dikasih ikan”, “diajari mancing”,  kebijakan yang perlu juga dilakukan adalah “dibantu untuk punya pancing dan perahu sendiri”. Maksdunya adalah sbagaimana pelaku-pelaku UMKM dapat dibantu untuk menjadi lebih berkembang dan maju melalui peningkatan akses permodalan, jaringan pasar dan perijinan usaha seperti hal KUR dan Perijinan satu pintu. (*)

*Dr. Dodo Kurniawan (Direktur Eksekutif Institut Indikator Ekonomi dan Sosial/ Indeks)

Dilihat sebanyak : 522 views