Dompu, Pusakapublik.com. – Kebutuhan terhadap demokrasi berkualitas sama pentingnya dengan kebutuhan manusia terhadap pangan maupun energi, Hal itu karena manusia memiliki kebutuhan fisik maupun psikis seperti kebebasan, ingin dihargai, diakui dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Poin itu disampaikan oleh Ilyas Yasin M.MPd, dosen STKIP Yapis Dompu, dalam diskusi Penguatan Kapasitas Jajaran Pengawas Bawaslu Menjelang Pemilu 2024, di Kafe Laberka, Dompu, Sabtu (8/10).
Mengutip ahli politik dari Australia, Edward Aspinal, Ilyas menjelaskan bahwa sejak 2015 ke atas demokrasi di Indonesia mengalami kemerosotan dengan menguatnya politik identitas dan politik transaksional dalam kontestasi elektoral di Indonesia hampir di semua tingkatan.
“Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 adalah contoh paling telanjang dari penggunaan politik identitas yang sangat keras dan kasar. Saya kira ini merupakan praktik demokrasi paling purba dan buruk dalam sejarah politik kita dan ini tidak boleh terulang dalam Pemilu 2024 mendatang,” tandasnya.
Dikatakan, politik identitas tidak semata menggunakan isu agama atau suku tertentu tetapi juga bisa seseorang atau sekelompok elit menggunakan sentimen ideologi, nasionalisme atau kebangsaan untuk menyerang lawan politik.
Menurut Ilyas, godaan penggunaan politik identitas kadang tidak terhindarkan karena itu merupakan konsekuensi demokrasi. Tujuannya tentu untuk mendapatkan dukungan dari publik. Selama dalam dosis yang wajar dan bisa dikendalikan, kata dia, maka penggunaan politik identitas barangkali tidak bermasalah kecuali jika sudah overdosis sebab akan menimbulkan perpecahan bangsa.
“Tampilnya Pak Ahok dalam Pilkada Jakarta sebenarnya fenomena menarik karena publik sudah mulai menerima kehadiran saudara kita dari etnis Tionghoa sebagai imam politik, sebagaimana etnis Arab yang jadi bupati Dompu sekarang. Tapi sayang sekali komunikasi politik Pak Ahok kurang baik sehingga jadi blunder,”sesalnya.
Dia menambahkan bahwa fenomena politik identitas sesungguhnya merupakan fenomena global karena bersamaan dengan bangkitnya era populisme dan post truth di seluruh dunia, termasuk di AS. Menurut dia, terpilihnya Donald Trumph, seorang presiden yang cenderung rasis maupun penyerangan Capital Hill oleh para pendukungnya dalam Pemilu AS 2020, adalah sebuah fenomena yang masih sulit dipahami banyak orang terjadi di sebuah negara yang sudah matang demokrasinya, bahkan sering mendaku dirinya sebagai kampiun demokrasi.
Sementara politik transaksional, kata Ilyas, tidak semata berkaitan dengan dimensi ekonomi tapi juga soal moralitas dan pilihan nilai-nilai. “Tetapi yang jelas baik politik identitas maupun politik transaksional sama-sama berdampak buruk bagi demokrasi. Keduanya mengakibatkan oligarki, monopoli, defisit demokrasi, rendahnya partisipasi publik bahkan berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan terhadap demokrasi termasuk terhadap para penyelenggara Pemilu,” ujarnya.
Dia juga mengajak semua pihak untuk terus memperjuangkan politik gagasan, politik kemaslahatan atau politik yang ditegakkan di atas basis nilai-nilai dan moralitas. Dia juga mengajak untuk melakukan perlawanan, terutama secara budaya, terhadap praktik politik transaksional yang terjadi.
“Jika politik transaksional ini dipandang sebagai budaya maka cara melawan praktik tersebut juga harus dilakukan secara budaya,” ujarnya. Cara melawan politik transaksional, kata dia, antara lain dengan melakukan edukasi dan advokasi publik, gerakan moral maupun dengan beberapa best practices di masyarakat yang menolak politik transaksional.
Dijelaskan, politik transaksional dapat bersumber dari politik mahar, lemahnya penegakkan hukum maupun sikap permisif masyarakat yang memandang politik transaksional sebagai ‘kenormalan’. “Normalisasi terhadap setiap kejahatan (korupsi, KDRT, kekerasan seksual dan lainnya) adalah kejahatan itu sendiri,” tegasnya di hadapan 20 jajaran internal Bawaslu Kabupaten Dompu.
Ilyas mengingatkan bahwa Pemilu berkualitas, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraannya, tidak dapat diserahkan kepada penyelenggara semata tapi harus melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan lainnya untuk membantu melakukan pengawasan baik dari pers, LSM, perguruan tinggi, kelompok masyarakat sipil dan lainnya.
“Di sisi lain kita juga berkepentingan terhadap penyelenggara Pemilu yang independen dan berkualitas, karena demokrasi berkualitas juga turut dipengaruhi oleh proses, tahapan dan penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas pula,” jelasnya.
Dia mengingatkan bahwa Pemilu sebagai sarana pencapaian cita-cita demokrasi, tentu tidak hanya sekadar siklus mekanisme pergantian elite politik tapi juga diharapkan sebagai mekanisme rekrutmen kepemimpinan berkualitas dan kredibel di masa akan datang.
Pemilu dan demokrasi adalah alat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan mendistribusikan keadilan. “Semoga Pemilu 2024 seluruh elemen bangsa ini harus memiliki komitmen yang sama untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa ini di atas segalanya, termasuk sekadar perebutan kekuasaan semata,” harapnya.
Diskusi yang dipandu komisioner Bawaslu Swastari Haz SH juga menghadirkan pembicara Nurdin MM (dari Badan Kesbangpol Kabupaten Dompu) dan Anshory SE (Komisioner KPU Dompu). (10)